Dark
Light

Seberapa Penting Reputasi Brand di Industri Game dan Esports?

12 mins read
August 22, 2021
Reputasi bisa mendorong laba dan pemasukan perusahaan.

Tahukah Anda, biaya produksi iPhone 11 Pro Max hanyalah US$490,5. Padahal, smartphone itu dijual dengan harga sekitar US$1.099 sampai US$1.449. Memang, Apple juga memberikan berbagai layanan untuk para pengguna iPhone. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, keuntungan yang Apple dapatkan dari iPhone cukup besar.

Pada 2019, Apple hanya menguasai 14,5% pangsa pasar smartphone. Perusahaan asal Amerika Serikat itu masih kalah jika dibandingkan dengan Samsung, yang menguasai 21,8% pangsa pasar dan Huawei, dengan pangsa pasar 17,6%. Meskipun begitu, dari segi laba, Apple menguasai 66% total keuntungan industri smartphone.

Lalu, apa yang membuat iPhone menjadi lebih berharga di mata para pengguna dari smartphone lainnya? Seperti yang disebutkan oleh Investopedia, salah satu alasan kenapa konsumen mau membeli produk Apple adalah karena barang elektronik dengan logo apel tersebut memang punya reputasi sebagai barang mewah. Hal ini menjadi bukti bahwa reputasi sebuah brand bisa membuat konsumen rela membayar harga lebih mahal.

Dalam artikel kali ini, saya akan membahas tentang pengaruh reputasi merek pada perusahaan. Dan bagaimana reputasi akan memengaruhi perusahaan game atau entitas esports.

Brand Equity: Definisi dan Keuntungan yang Diberikan ke Perusahaan

Secara harfiah, brand equity berarti nilai atau valuasi dari sebuah brand. Cara untuk mengetahui apakah sebuah brand punya nilai atau tidak cukup mudah. Jika sebuah brand menawarkan sebuah produk dengan harga yang lebih mahal dari produk serupa di pasar dan konsumen tetap mau membeli produk dari merek itu, maka merek tersebut punya nilai. Buktinya, konsumen rela mengeluarkan uang lebih demi mendapatkan produk dari merek tersebut.

Mari kita ambil Louis Vuitton sebagai contoh. Ketika mereka bekerja sama dengan Riot Games untuk membuat koleksi pakaian LVxLOL, mereka membanderol kaos dengan gambar Qiyana seharga US$670 atau sekitar Rp9,4 juta. Dari semua koleksi tersebut, jaket kulit menjadi produk yang paling mahal, dengan harga US$5.650 atau sekitar Rp79 juta. Padahal, biaya produksi untuk membuat sebuah kaos bergambar atau jaket kulit jelas tidak semahal itu. Namun, harga yang jauh lebih mahal dari biaya produksi tidak menghentikan orang-orang untuk membeli koleksi LVxLOL — atau produk Louis Vuitton lainnya. Hal ini menjadi bukti bahwa merek Louis Vuitton punya nilai tersendiri di mata konsumen. Dan memang, nilai brand Louis Vuitton mencapai US$14,86 miliar pada 2021, menurut data dari Statista.

Nilai merek Louis Vuitton dari 2016 ke 2021. | Sumber: Statista

Ada beberapa keuntungan yang didapat perusahaan ketika merek mereka punya reputasi yang bagus. Menurut Investopedia, reputasi merek yang baik bisa berdampak langsung pada keuntungan perusahaan. Pasalnya, perusahaan bisa memasang harga yang lebih mahal dari pesaing ketika mereka menjual produk mereka, walau produk itu tidak jauh berbeda dari produk milik pesaing. Hal itu berarti, perusahaan bisa mendapatkan margin untung yang lebih besar. Dalam kasus Louis Vuitton — atau merek luxury fashion lainnya — mereka tentu punya margin untung yang jauh lebih besar daripada penjual kaos di pasar.

Tak hanya margin laba, brand equity juga bisa memengaruhi volume penjualan produk. Semakin baik reputasi perusahaan, semakin banyak pula orang yang mau membeli produk dari perusahaan itu. Pada akhirnya, hal ini juga akan meningkatkan keuntungan yang didapat perusahaan. Meskipun margin laba yang perusahaan dapatkan dari sebuah produk kecil, tapi jika mereka bisa menjual produk itu dalam jumlah banyak, maka keuntungan yang mereka dapat pun tetap akan menjadi besar.

Terakhir, keuntungan yang perusahaan dapat dari reputasi yang baik adalah kesetiaan pelanggan. Ketika seorang konsumen sudah setia dengan satu brand, biasanya dia akan selalu membeli produk dari merek tersebut. Ketika membeli makanan, saya cenderung memilih restoran yang mereknya sudah saya kenal. Selain menjadi repeat customer, pelanggan yang sudah menjadi fans setia dari sebuah merek juga biasanya akan membeli lebih dari satu produk dari merek tersebut. Sebagai contoh, pengguna iPhone biasanya juga menggunakan iMac. Bagi perusahaan, pelanggan yang setia berarti mereka bisa menghemat ongkos marketing. Karena, biaya untuk retensi konsumen cenderung lebih murah daripada mengakuisisi konsumen baru.

Biaya untuk mempertahankan konsumen biasanya tidak semahal mendapatkan konsumen baru. | Sumber: Deposit Photos

Lalu, bagaimana cara untuk menghitung brand equity?

Secara garis besar, ada tiga mteode yang bisa digunakan untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Pertama, cost-based brand valuation. Sesuai namanya, metode ini menentukan nilai dari sebuah brand dengan menghitung total biaya yang dikeluarkan untuk membangun merek itu, mulai dari biaya promosi, biaya iklan, sampai biaya untuk mendaftarkan lisensei dan trademarks. Semua biaya tersebut harus dihitung sejak merek didirikan. Jadi, metode ini cocok digunkaan untuk menghitung valuasi brand yang masih baru, seperti yang disebutkan oleh The Balance.

Market-based brand valuation merupakan cara lain untuk menghitung nilai dari sebuah brand. Metode ini menentukan nilai brand dengan membandingkan merek tersebut dengan merek pesaing, khususnya ketika merek pesaing baru saja dijual. Dalam market-based brand valuation, nilai saham dari perusahaan pesaing juga bisa menjadi tolok ukur untuk menentukan nilai merek sebuah perusahaan.

Metode terakhir untuk menghitung nilai brand adalah income approach. Di metode ini, Anda menghitung nilai sebuah brand dengan memperkirakan pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan dari brand tersebut. Selain potensi pemasukan yang bisa didapatkan perusahaan, hal lain yang harus diperhitungkan dalam metode ini adalah besar penghematan biaya yang bisa perusahaan lakukan. Contohnya, penghematan biaya marketing karena konsumen yang sudah loyal.

Pentingnya Reputasi Merek di Dunia Game dan Esports

Menurut data dari World Federation of Advertisers, hampir 40% konsumen tidak percaya dengan iklan tradisional. Namun, sebagian besar konsumen justru akan mempercayai komentar dari teman mereka atau review online. Hal ini menunjukkan, saat ini, reputasi merek semakin penting. Reputasi merek tidak hanya penting bagi perusahaan yang menjual barang, tapi juga entitas yang menyediakan layanan jasa, termasuk perusahaan game dan pelaku esports.

Bagi developer game, membangun reputasi sama artinya dengan membangun komunitas. Dan hal ini akan membantu mereka untuk menjual game mereka di masa depan. Topik akan pentingnya membangun komunitas bagi developer dibahas oleh Shahid Ahmad, mantan Director of Strategic Content, PlayStation, pada Casual Connect Europe pada 2016. Jason Della Rocca, mantan Executive Director dari International Game Developers Association, Cabang Montreal, juga mengungkapkan hal yang sama.

Jason Della Rocca. | Sumber: Wikipedia

Della Rocca mengakui, developer game biasanya lebih memilih untuk fokus pada proses pembuatan game dan menyerahkan tugas membangun komunitas pada publisher. Namun, dia menyebutkan, hal ini justru bisa merugikan developer. Alasannya, developer tidak selalu bekerja sama dengan publisher yang sama ketika meluncurkan game.

“Anda bisa saja bekerja sama dengan Publisher X untuk menerbitkan game pertama Anda dan menggandeng Publisher Y untuk game Anda berikutnya,” kata Della Rocca, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Keberadaan komunitas dan kemampuan Anda untuk berkomunikasi dengan fans secara langsung merupakan aset penting bagi developer. Bagi indie developer, komunitas adalah hal yang sangat krusial.”

Tanpa fanbase, developer akan kesulitan untuk menggunakan berbagai marketing tools yang ada secara maksimal. Della Rocca menjadikan Kickstarter sebagai contoh. Melalui Kickstarter, developer bisa mendapatkan uang yang diperlukan untuk mengembangkan game mereka. Namun, jika developer mengadakan kampanye Kickstarter tanpa membangun fanbase terlebih dulu, kemungkinan besar, kampanye mereka tidak akan berhasil atau tidak maksimal. “Kickstarter adalah alat untuk membangun komunitas. Ia bisa digunakan sebagai bagian dari proses marketing game,” ujar Della Rocca.

Sementara itu, Ahmad menjelaskan, membangun fanbase bisa membantu developer untuk membuat game-nya tampil menonjol dari game-game lain. Dia memperkirakan, setiap harinya, ada lebih dari 100 game yang diluncurkan di iOS. Ditambah dengan game-game yang diluncurkan di platform lain, maka setiap harinya, ada ratusan game baru yang diluncurkan. Membuat game yang bisa tampil menonjol dari ratusan atau bahkan ribuan game lain bukanlah perkara mudah. Sementara sebagai gamer, Ahmad menceritakan pengalaman pribadinya, dia justru sering merasa kesulitan untuk memilih game baru untuk dimainkan karena ada terlalu banyak opsi.

Banyaknya pilihan game terkadang justru membuat seseorang bingung. | Sumber: Deposit Photos

“Kadang saya memeriksa iPhone saya untuk mencari game baru. Saya mengunduh game baru, tapi hanya memainkannya selama sekitar 20 detik. Setelah itu, saya akan membuka Steam, yang menampilkan daftar game yang sudah dikurasi sesuai preferensi saya,” cerita Ahmad. Namun, pada akhirnya, dia justru memainkan Call of Duty. Alasannya karena dia tidak menemukan game dari indie developer yang menarik perhatiannya.

“Jadi, apa yang harus developer lakukan untuk mengatasi masalah itu? Mereka harus membangun reputasi,” ujar Ahmad. “Membangun reputasi menjadi salah satu keharusan bagi developer. Sekarang, punya reputasi yang baik sama pentingnya — atau justru lebih penting — dari membuat game yang berkualitas.” Dia menambahkan, tanpa reputasi dan tanpa komunitas, developer harus bisa membuat game yang benar-benar stand out di mata gamers.

“Padahal, sekarang, semua game terlihat sangat bagus. Karena, semua developer bisa mengakses berbagai tool hebat. Selain itu, ada banyak cara untuk meluncurkan game Anda, ada begitu banyak platform yang bisa Anda pilih,” kata Ahmad. “Jika Anda tidak berusaha untuk membangun reputasi Anda, jika Anda tidak mendekatkan diri dengan komunitas Anda, menunjukkan visi dan misi Anda di hadapan audiens Anda, Anda akan mengalami masalah.”

Blizzard dikenal dengan berbagai game mereka yang populer. | Sumber: Twitter

Sepandai-pandainya tupai melompat, pasti akan jatuh juga. Di industri game, perusahaan besar sekalipun bisa terkena skandal. Contohnya, Blizzard. Pada akhir Juli 2021, Blizzard dituntut oleh Departemen Ketenagakerjaan California karena mereka dianggap membiarkan budaya diskriminasi dan pelecehan seksual terjadi di perusahaan. Begitu skandal ini menyebar di media, Blizzard mendapatkan reaksi negatif dari berbagai pihak, mulai dari karyawan, mantan karyawan, pemain, sampai sponsor dari liga esports yang mereka adakan.

Menanggapi kasus ini, karyawan Blizzard mengadakan aksi mogok. Selain itu, mereka juga membentuk koalisi pekerja bernama “Aliansi Pekerja ABK”. Sementara itu, beberapa sponsor dari Overwatch League memutuskan untuk mundur. Salah satu sponsor yang mengundurkan diri adalah T-Mobile, perusahaan telekomunikasi raksasa asal AS. Tak hanya itu, Kellog — perusahaan yang membawah merek Cheez-It dan Pringles — juga tidak lagi menjadi sponsor dari OWL. Sementara Coca-Cola dan State Farm mengungkap bahwa mereka akan mempertimbangkan kembali status mereka sebagai sponsor OWL.

Jumlah pemain aktif bulanan (MAU) Blizzard dari kuartal ke kuartal. | Sumber: Statista

Skandal Blizzard ini juga memengaruhi jumlah pemain game-game mereka. Pada Q2 2021, jumlah pemain aktif bulanan Blizzard hanya mencapai 26 juta orang, turun dari 46 juta orang pada Q2 2017. Menurut laporan GameRant, tren penurunan jumlah pemain Blizzard memang sebenarnya sudah terjadi sebelum muncul skandal akan diskriminasi dan pelecehan seksual, seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas. Alasan para pemain Blizzard berhenti bermain beragam. Sebagian memutuskan untuk berhenti bermain karena mereka kecewa dengan game dari Blizzard. Sementara sebagian yang lain berhenti bermain karena Blizzard dianggap tidak memberikan dukungan yang memadai untuk game yang mereka mainkan, seperti pada Overwatch.

Walau jumlah pemain Blizzard cenderung turun, pemasukan perusahaan tetap menembus US$1 miliar. Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di bawah, pemasukan Blizzard pada 2018 naik menjadi US$2,3 miliar dari US$2,1 miliar pada 2017. Memang, pendapatan mereka sempat turun drastis ke US$1,7 miliar pada 2019. Namun, angka itu kembali naik ke US$1,9 miliar pada 2020.

Pemasukan Blizzard dari 2007 sampai 2020. | Sumber: Statista

Ramainya pemberitaan tentang budaya diskriminasi dan pelecehan seksual di Blizzard juga sempat membuat nilai saham perusahaan itu turun. Nilai saham Blizzard turun menjadi US$84,05 pada 27 Juli 2021 dari US$91,5 pada 23 Juli 2021. Meskipun begitu, pada 11 Agustus 2021, saham Blizzard sudah kembali naik, menjadi US$85 per lembar. Dan sayangnya, dampak skandal ini pada pemasukan Blizzard masih belum bisa dilihat. Jadi, belum diketahui apakah tuntutan yang diajukan pada Blizzard akan mendorong perusahaan itu untuk berubah atau mereka akan membiarkan budaya perusahaan yang tidak sehat terus berlanjut.

Blizzard bukan perusahaan game pertama yang terkena skandal. Sebelum ini, Riot Games dan Ubisoft pun pernah mendapatkan pemberitaan negatif karena budaya perusahaan yang kurang baik. Keduanya memang melakukan sejumlah perubahan. Meskipun begitu, sampai saat ini, dua perusahaan itu masih tetap menjalankan bisnis.

Pentingnya Reputasi Merek di Indonesia

Indofood Group adalah salah satu perusahaan asal Indonesia yang sukses bahkan hingga ke pasar internasional. Sebagai perusahaan Fast Moving Consumer Goods (FMCG), Indofood punya beberapa merek, seperti Indomie, Indomilk, Sarimi, Bimoli, dan Indofood. Dari semua merek tersebut, Indomie merupakan merek dengan nilai paling tinggi, mencapai US$440 juta. Sementara merek terpopuler kedua adalah Indomilk, yang bernilai US$335 juta. Untuk lebih lengkapnya, Anda bisa melihat gambar di bawah.

 

Nilai merek di bawah Indofood Group. | Sumber: SWA

Perhitungan nilai merek di atas dilakukan oleh SWA Brand Finance. SWA menjelaskan, ada beberapa faktor yang mereka jadikan tolok ukur untuk menghitung nilai dari masing-masing merek di bawah Indofood Group. Faktor pertama adalah Brand Strength, yang melibatkan kinjera keuangan perusahaan, sustainability, dan hubungan emosional brand dengan konsumen. Faktor-faktor lainnya adalah Royalty Range, Royalty Rate, pemasukan dari brand, proyeksi pendapatan dari merek, biaya royalti, dan proyeksi royalti.

Lalu, seberapa penting reputasi brand untuk organisasi esports? Andrian Pauline, CEO RRQ menyebutkan, reputasi itu sangat penting bagi organisasi esports. Tidak heran, mengingat sebagian besar pemasukan organisasi esports datang dari sponsorship. Dan seperti yang terlihat dari kasus Blizzard, sponsor akan mundur begitu pihak yang mereka sponsori terlibat skandal.

Untuk menentukan baik atau buruknya reputasi RRQ, AP menceritakan bahwa ada beberapa hal yang menjadi tolok ukur. Salah satunya adalah perbandingan antara jumlah pemberitaan positif dengan pemberitaan negatif. Untuk meminimalisir pemberitaan negatif, AP mengungkap, pihak RRQ biasanya memang tidak mau berbicara tentang topik-topik tertentu. Dan ketika memberikan jawaban, mereka cenderung memberikan jawaban normatif.

“Kita semua di RRQ setuju bahwa ada beberapa hal yang tidak bisa di-share ke media. Mengumbar hal-hal jelek demi konten, it’s just not us,” ujar AP ketika dihubungi melalui telepon. Selain pemberitaan media, hal lain yang menjadi tolok ukur reputasi RRQ adalah penghargaan yang mereka menangkan. AP menjelaskan, penghargaan yang dia maksud di sini bukanlah kompetisi esports yang RRQ menangkan, tapi penghargaan yang didasarkan pada pemungutan suara penonton atau metode lainnya.

Salah satu “penghargaan” yang RRQ pernah menangkan adalah gelar sebagai tim Mobile Legends paling populer di Asia Tenggara. Hal lain yang juga bisa menunjukkan baik-buruknya reputasi organisasi esports adalah brand yang menjadi rekan mereka. “Kalau kita mengadakan kolaborasi, tidak mungkin dengan brand atau perusahaan yang reputasinya kurang baik,” kata AP.

Tim Mobile Legends terpopuler di Asia Tenggara. | Sumber: Esports Charts

AP mengaku bersyukur karena semua orang di bawah RRQ — baik atlet esports maupun pihak manajemen — sepakat bahwa reputasi organisasi adalah sesuatu yang harus dijaga bersama. Dia menambahkan, bahkan setelah seseorang keluar dari RRQ, dia biasanya tidak akan membocorkan masalah internal organisasi ke pihak lain. “RRQ itu paling menjaga hal-hal yang bersifat internal. Segala sesuatu yang berhubungan dengan nama baik organisasi, kita coba selesaikan secara internal,” ujar AP. “Bukan berarti kita lebih bersih dari organisasi esports lain. Hanya saja, kita coba menyelesaikan masalah yang bisa diselesaikan secara internal.” Harapannya, pemberitaan buruk terkait masalah internal RRQ bisa diminimalisir.

Namun, RRQ bukanlah organisasi esports kecil. Mereka membawahi lebih dari 40 atlet esports. Tentunya, mereka juga mempekerjakan sejumlah orang untuk mengisi posisi manajemen. Sebagai CEO, mengawasi semua orang yang bekerja untuk RRQ memang mustahil. AP menyadari hal itu. Tapi, dia tetap percaya, semua orang di bawah RRQ mau menjaga nama baik organisasi. Menurutnya, hal ini bisa terjadi karena budaya perusahaan di RRQ.

“Saya beruntung punya kolega kerja, pemain, manajer, dan pelatih yang memang tahu peraturan di RRQ,” ujar AP. “Yang saya lihat, mereka bukannya takut pada RRQ sebagai organisasi atau fans kami, tapi karena kebiasaan perusahaan, mulai dari hal-hal kecil, yang akhirnya membentuk individu yang bisa mengikuti peraturan. Kami juga memberikan contoh dari atas ke bawah. Mulai dari dulu, waktu kita hanya 4-5 orang saja, akhirnya sampai sebesar sekarang. Sampai saat ini, tidak ada yang menceritakan aib hanya demi buat konten seru-seruan. Sebisa mungkin kita bereskan secara internal.”

Organisasi esports bukan satu-satunya elemen dalam ekosistem esports. Ada berbagai entitas lain yang juga punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports, mulai dari publisher sampai penyelenggara turnamen.  Sayangnya, walau organisasi esports bisa menjaga nama baik mereka, terkadang, pihak lain dari ekosistem esports yang justru terkena skandal. Bisa jadi, yang tersangkut kasus justru sang publisher, seperti yang terjadi pada Blizzard. Ketika ditanya apa yang RRQ lakukan ketika publisher terkena masalah, AP menjawab bahwa RRQ akan mengambil sikap pragmatis.

Mobile Legends adalah salah satu game esports yang tumbuh pesat di Indonesia.

“Contoh, Moonton terkena kasus di Tiongkok, dituntut oleh Tencent. Di Indonesia, apa impact-nya? Apakah orang-orang yang main bakal masuk penjara? Apa EO yang membuat event untuk Moonton bakal dituntut oleh pengacara dari Tiongkok? Jika tidak ada, ya kita tidak usah ikut campur. Masalah itu akan menjadi masalah antara tim legal Moonton dan Tencent di Tiongkok,” jelas AP panjang lebar.

AP menyebutkan, RRQ juga tetap akan berusaha untuk menyuarakan kepentingan komunitas esports. Namun, mereka juga sadar bahwa pada akhirnya, RRQ hanyalah organisasi esports. “Mau sebanyak apapun fans Persija, mereka cuma klub sepak bola. Masih ada otoritas yang lebih tinggi dari mereka,” kata AP, memberikan analogi. Dan di ekosistem esports, publisher merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. “Kita tidak bisa pungkiri, ekosistem esports muncul berkat publisher. Dan tim esports, fans, EO, dan media merupakan bagian penting dari ekosistem esports. Kita tidak bisa jalan sendiri-sendiri,” ujarnya. Satu hal yang pasti, AP menekankan, RRQ akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam sebuah ekosistem esports.

Bagi orang-orang yang ingin menjadi atlet esports, AP memberikan sejumlah saran tentang cara menjaga reputasi dan mengembangkan karir. Salah satunya adalah fokus pada latihan. Menurutnya, saat ini, kebanyakan orang ingin menjadi pemain esports demi popularitas. Memang, biasanya, setelah pensiun, pemain esports akan menjadi streamer. Namun, dia menyebutkan, fokus utama dari pemain esports tetaplah memberikan performa yang baik dan membawa tim ke kemenangan.

“Atlet esports seharusnya bukan ingin bisa populer. Seharusnya, dia memasang target agar bisa jago dan membawa tim menang,” ungkap AP. Dia menyebutkan, ketika seseorang memberikan performa yang baik dan membawa timnya juara, popularitas akan datang dengan sendirinya.

Saran kedua dari AP adalah untuk tidak terlalu menyibukkan diri dengan membuat banyak konten. Alasannya, ketika seorang atlet esports justru fokus untuk membuat konten, maka dia tidak bisa berlatih dengan maksimal. Dan pada akhirnya, hal ini justru bisa menghambat karir sang atlet itu sendiri. “Peluang di esports itu kan sedikit dan tidak lama. Kalau dapat kesempatan, sebaiknya Anda berlatih keras. Dan juga bersosialisasi, perbanyak teman,” ujarnya. “Membangun chemistry dengan teman satu tim itu juga penting, tidak sekadar push rank.”

Bagi atlet esports, kemampuan untuk bisa membawa diri juga menjadi penting karena kebanyakan game esports dimainkan bersama-sama dengan tim dan tidak perseorangan. AP mengatakan, tidak peduli seberapa jago seorang atlet, jika dia tidak bisa rukun dengan teman satu timnya serta pelatihanya, karirnya tidak akan bertahan lama.

Sementara saran yang AP berikan untuk pemilik organisasi esports adalah untuk mencintai esports. “Temukan passion-nya,” ujarnya. “Kalau orientasinya lagi-lagi uang, jangan deh. Dia harus fall in love with esports. Bukan berarti dia harus main 12 jam sehari juga. Tapi, dia harus punya antusiasme akan esports. Kalau dia sendiri nggak enjoy, begitu pemain ada yang ngambek, ya jadi capek sendiri.” Dia juga menyebutkan, membangun tim esports bukan sesuatu yang instan. “Di dua tahun pertama pasti bleeding, entah waktu, tenaga, atau uang.”

Penutup

Seiring dengan bertambahnya jumlah penonton esports, semakin banyak pula pihak yang tertarik untuk menjadi sponsor dari pelaku esports. Bahkan merek non-endemik sekalipun mulai menjajaki dunia esports dalam beberapa tahun belakangan. Sebagian dari mereka bahkan membeli naming rights dari organisasi esports.

Ketika sebuah brand menjadi sponsor dari pelaku esports, maka mau tidak mau, reputasi dan image dari brand juga akan melekat pada pihak yang disponsori. Karena itu, perusahaan biasanya memilih pihak yang mereka sponsori dengan hati-hati. Dan jika pihak yang disponsori tersandung skandal, pihak sponsor biasanya tidak ragu untuk membatalkan kontrak sponsorship mereka. Mengingat sebagian besar pemasukan industri esports masih berasal dari sponsorship, maka semua pelaku industri esports — mulai dari atlet, organisasi esports, penyelenggara turnamen, sampai publisher — harus dapat menjaga reputasi mereka.

Previous Story

Jadi Turnamen Pemanasan Sebelum TI10, ESL One Fall 2021 akan Diikuti 12 Tim Dota 2 Terbaik

Next Story

Nama Activision Absen dari Semua Promosi Call of Duty: Vanguard

Latest from Blog

Don't Miss

Review Poco X6 5G Hybrid

Review Poco X6 5G, Performa Ekstrem dan Sudah Dapat Pembaruan HyperOS

Poco X6 membawa layar AMOLED 120Hz dengan Dolby Vision lalu

Review Realme 12 Pro+ 5G, Smartphone Mainstream dengan Zoom Periscope Paling Terjangkau

Realme 12 Pro+ 5G merupakan smartphone paling baru dari realme di